Sabtu, 21 Maret 2015

Suku Bawean

Suku Bawean merupakan
satu kelompok kecil
masyarakat Melayu yang
berasal dari Pulau
Bawean. Letak pulaunya
berada di Laut Jawa
antara dua pulau besar,
yaitu Pulau Kalimantan
di utara dan Pulau Jawa
di selatan. Pulau Bawean
terletak sekitar 80 mil ke
arah utara Surabaya, dan
masuk kabupaten Gresik.
Pulau ini terdiri atas dua
kecamatan, yaitu
kecamatan Sangkapura
dan kecamatan Tambak.
Masyarakat Melayu
Malaka dan Malaysia
lebih mengenal dengan
sebutan Boyan dari pada
Bawean. Dalam
pandangan mereka,
Boyan berarti sopir dan
tukang kebun karena
profesi sebagian
masyarakat asal Bawean
adalah bekerja di kebun
atau sebagai sopir.
Sulit untuk menentukan
waktu yang tepat
kedatangan orang-orang
Bawean ke Malaka karena
tidak ada bukti, catatan
resmi dan dokumentasi
sejarah mengenai
kedatangannya. Tetapi
terdapat berbagai
pendapat mengenai
kedatangan mereka ke
Malaka. Pendapat
pertama mengatakan,
bahwa ada orang yang
bernama Tok Ayar datang
ke Malaka pada tahun
1819. Pendapat yang
kedua mengatakan
bahwa orang Bawean
datang pada tahun 1824,
kira-kira semasa
penjajahan Inggris di
Malaka. Pendapat yang
ketiga mengatakan orang
Bawean sudah ada di
Malaka sebelum tahun
1900 dan pada tahun itu
sudah banyak orang
Bawean di Malaka.
Secara etimologi, kata
Bawean berasal dari
bahasa Sanskerta, yang
berarti ada sinar
matahari . Menurut
legenda, sekitar tahun
1350, sekelompok pelaut
dari Kerajaan Majapahit
terjebak badai di Laut
Jawa dan akhirnya
terdampar di Pulau
Bawean pada saat
matahari terbit. Kitab
Negarakertagama
menyebutkan bahwa
pulau ini bernama
Buwun.
Mayoritas masyarakat
Bawean menganut agama
Islam. Sementara yang
menganut agama non-
Islam kebanyakan
pendatang di pulau
tersebut. Agama Islam
masuk ke Bawean awal
abad ke-16, dibawa oleh
Maulana Umar Mas'ud.
Makamnya hingga kini
merupakan tujuan
peziarah lokal maupun
dari luar Bawean. Makam
Umar Mas'ud berada di
wilayah Sangkapura yang
terletak di pantai selatan
pulau tersebut. Sedang
di pantai utara, tepatnya
di desa Diponggo ada
kuburan seorang ulama
wanita penyebar Islam di
daerah itu, namanya
Waliyah Zainab, terletak
di atas dataran tinggi.
Masyarakat Bawean
umumnya tinggal di kota
atau daerah yang dekat
dengan kota, seperti di
Kampung Mata Kuching,
Klebang Besar,
Limbongan, Tengkera
dan kawasan sekitar
Rumah Sakit Umum
Malaka. Orang-orang
Bawean jarang tinggal di
kawasan-kawasan yang
jauh dari kota. Jumlah
orang Bawean yang
terdapat di Malaka
diperkirakan tidak
melebihi 100 ribu orang.
Sementara orang Bawean
yang tinggal di luar pulau
Bawean dan luar negeri
lebih dari 100 ribu orang.
Selain di Malaka, orang
Bawean juga tersebar di
Lembah Klang, seperti di
kawasan Ampang,
Gombak, Balakong dan
juga Shah Alam. Mereka
membeli tanah dan
membangun rumah
secara berkelompok. Di
Gelugor, Pulau Pinang
terdapat sekurang-
kurangnya dua keluarga
besar orang Bawean.
Mereka menggunakan
bahasa Melayu dialek
Pulau Pinang untuk
bertutur dengan orang
bukan Bawean.
Anak-anak mereka yang
lahir di Malaysia telah
menjadi warga
negaraMalaysia.
Perantau-perantau yang
datang dari tahun 90-an
ada yang telah menerima
status penduduk tetap.
Orang Bawean terkenal
dengan keahlian
membuat bangunan dan
rumah.
Penduduk Bawean
kebanyakan memiliki
mata pencaharian
sebagai nelayan atau
petani. Hasil pertanian
diantaranya padi, jagung,
ubi dan sayur-sayuran.
Kelapa juga banyak
ditemukan di sekeliling
perkampungan mereka.
Pulau kediaman suku
Bawean ini juga terkenal
sebagai penghasil
marmer, dan para
perempuan Bawean
sangat terampil dengan
kerajinan tangan unik
dari daun pandan. Selain
itu juga masyarakat
Bawean ada yang
menjadi TKI di Malaysia
dan Singapura.
Suku Bawean
menggunakan bahasa
Bawean dalam
komunikasinya. Bahasa
ini memiliki kemiripan
dengan bahasa Madura.
Meskipun mirip, tapi
adat dan budaya mereka
sangat berbeda. Orang
Bawean juga tidak mau
disebut sebagai orang
Madura karena
perbedaan tersebut.
Bahasa Bawean
ditengarai sebagai
kreolisasi bahasa Madura
karena kata-kata
dasarnya yang berasal
dari bahasa ini.
Adapun kebudayaan dan
kesenian yang dimiliki
suku Bawean, yaitu
kercengan, cukur cambul,
pencak Bawean, dikker,
dan mandiling.
Kercengan biasanya
dipersembahkan sewaktu
acara Perkawinan.
Masyarakat Madura
menyebut nama
kercengan dengan
Hadrah. Penari berbaris
sebaris atau dua baris.
Pemain kompang dan
penyanyi duduk di
barisan belakang. Lagu-
lagu yang dimainkan
adalah lagu-lagu salawat
kepada Nabi Muhammad
SAW. Pemain kercengan
terdiri dari laki-laki dan
perempuan.
Kedua adalah cukur
jambul merupakan acara
bercukur jambul bagi
bayi yang telah genap
usianya 40 hari. Adat ini
sama seperti adat orang
Melayu dan Jawa. Bacaan
berzanji bersama paluan
kompang merayakan bayi
yang akan dicukur
kepalanya. Ada lagi
pencak Bawean, yang
sering ditampilkan dalam
acara hari besar seperti
hari kemerdekan 17
Agustus maupun acara
perkawinan orang
bawean. Pencak Bawean
mengutamakan
keindahan langkah
dengan memainkan
pedang yang panjang.
Selanjutnya adalah
Dikker, yaitu alunan puji-
pujian dan shalawat
kepada Nabi Muhammad
SAW disertai dengan
permainan terbang.
Adapun Mandiling adalah
sejenis tari-tarian
disertai dengan pantun.
Lokasi
Jawa » Jawa Timur » Kab.
Gresik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar